“assalamu’alaikum”,
sapaku pelan.
“wa’alaikumsalam warahmatullah”, ia membalas dengan senyum.
“wa’alaikumsalam warahmatullah”, ia membalas dengan senyum.
“sendirian
saja , sudah lama tidak bertemu?”.
“oh
ya, aku cukup sering disini. Bagaimana kabarmu?”
“lelah”,
jawabku singkat.
“ada
apa?”, ujarnya sambil mengernyitkan dahi.
“hehe..
kalau hari ini lelah, baru menyelesaikan perkejaan yang lumayan menyita tenaga”,
celetuk ku ringan.
“hmmm...”,
ia menghela nafas sambil tersenyum.
“boleh
aku menyatakan keherananku?”, tanyaku penasaran.
“apa
yang mengherankanmu wahai saudaraku setia?”, jawabnya dengan santai
“mengapa
ringan sekali pembawaanmu, apa tak pernah bersinggungan dengan gundah?, apa tak
pernah merasa payah?”, tanyaku beruntun.
“pernah”,
ia memberi jawaban singkat.
“lalu,
ada apa dengan senyum itu, selalu saja polos, selalu saja murni , dan selalu
saja menghiasi wajahmu?”, tanyaku makin penasaran.
“lalu?”,
ia pun balik bertanya.
“aku
mau menyibak sedikit rahasia itu darimu, berkenankah kau mebaginya?”pintaku.
“mungkin
ini terlihat sulit atau mudah, ya? Tergantung persepsimu. Kau tau, aku seorang
pria dengan umur yang nyaris tak lagi muda, bagi orang sepertiku apa kau pikir
tidak ada gundah, tidak bertemu dengan yang namanya payah?”ujarnya mengawali
penjelasan.
“aku
dengan keterbatasanku, kau lihat tubuh ini, hanya ditopang satu kaki saja,
kawan. Kecelakaan itu tak pernah kusalahkan, beginilah keadaan yang digariskan
untukku. Dulu, sempat beberapa kali ku coba mencari pendamping hidupku. Awalnya
aku dipertemukan dengan seorang gadis biasa saja, dari keluarga sederhana,
memiliki pemahaman agama yang cukup mebuatku kagum, dan dengan paras yang
cantik bisa disebut bidadari dunia. Bagiku wanita bisa disebut bidadari dunia
jika cantiknya beriringan dengan nilai moril dan nilai agama yang dijunjung
tinggi, apa kau setuju denganku?”
“
ya, lalu?”, angguk ku tanda setuju.
“aku
memutuskan untuk bertamu sebagai laki-laki sejati berhadapan dengan orang
tuanya. Bukankah laki-laki sejati itu harus tau bagaimana bersikap jika ingin
menjadi bagian dari keluarga orang yang hendak dijadikan teman hidupnya?”,
tambahnya.
“hahaha,
tentu saja, kawan”, aku tertawa kecil.
“dan
aku melakukannya, tentu dengan keyakinan juga di iringi ketakutan?”
“mengapa
harus takut?”, tanyaku heran.
“Aku
hanya takut, kekuranganku ini mendatangkan keraguan dari pihak keluarganya,
apalagi aku hanya seorang sol sepatu dan guru privat waktu itu, yang yah...
bagi sebagian orang itu tidak cukup meyakinkan. Ternyata hal yang aku
khawatirkan tidak lah terjadi. Mereka menerimaku, karna bantuan calonku memberi
pemahaman, Membahagiakan bukan?. Jelang persiapan ijab kabul, hal membahagiakan
itu bergemuruh buram seketika karna mendung menyertainya. Sang calon pengantinku
tergelincir di tangga di tempat ia
bekerja, dan seketika itu jua dipanggil sang pencipta. Apakah itu tidak cukup
membuat gundah?. Hei, tidak kawan ! bahkan itu menganak air mata. Tapi apa kau
tau, hal itu tidak membuatku putus asa, setelah setahun dari kejadian itu, aku
tetap berusaha menyempurnakan separuh agamaku dengan mencari kembali calon
pendamping hidup sesuai kriteria agama. Jalan yang kedua kali yang ku tempuh
ini, agak sedikit sulit. Setelah ku menyatakan siapa diriku, maka proses
penerimaanku harus menunggu pertimbangan yang cukup lama dari orangtuanya. Aku
menunggu selama 2 bulan, selama itu tentu doa-doaku makin panjang saja,
berharap semua tidak terjadi diluar dugaanku. Namun ternyata, kabar kepergian
calonku yang duluan ku terima, kanker paru-paru itu yang membawanya pergi
menghadap Tuhannya. Hmm... ternyata itu yang membuat pertimbangan itu kian
lama, mereka tidak tega merepotkanku. Bahkan aku seperti meringis kesakitan
ketika orang tuanya meminta maaf baru mengabarkan kepadaku, bersamaan dengan
kabar itu mereka sampaikan penolakan atas diriku dengan alasan tidak ingin
merepotkanku. Hei bukankah, aku tidak pernah menyatakan keberatan untuk
merawatnya apapun yang terjadi?. Allah lah yang punya ketentuan itu saudaraku.
Untuk kedua kalinya skenario yang sama dengan jalan yang berbeda”
“lalu,
bagaimana keadaanmu sekarang? Dengan serentetan peristiwa dulu yang membuatku berharap aku juga kuat sepertimu,
menurutku ternyata kisah hidupmu benar-benar berat”, tanyaku menyimpulkan.
“sudah
kuduga kau akan menyatakannya berat. Aku hanya menegaskan ke diriku tentang
penerimaanku terhadap diriku sendiri, dengan demikian aku bisa meletakkan
keyakinan orang lain juga akan menerimaku. Jika terjadi sebaliknya maka akan
ada intropeksi diri lebih ketat terhadap diri ini, apakah diri sudah tidak lagi
menerima keadaannya yang seperti ini? Maka hanya permohonan untuk selalu jadi
hamba yang bersyukur yang sering kusampaikan dalam doa. Dengan demikian,
setidaknya keringan hidup biasanya akan terasa”.
Hening
beberapa menit. Nabhan mulai menggeser tongkat kayunya untuk bersiap-siap
pergi.
“sepertinya
sore semakin redup, aku mau pamit dulu, namun sebelumnya , ini untukmu”,Nabhan
menyodorkan sebuat amplop putih sambil tersenyum dan kemudian mengucap salam
dan lalu pergi.
Aku
hanya memandangi punggung Nabhan yang makin lama menghilang di sebalik dinding,
aku pun melirik amplop yang baru saja di berikan temanku itu, aku penasaran dan
segera membuka amplop itu dan ternyata isinya adalah undangan pernikahan yang
cantik. Disana tertulis nama temanku itu Muhammad Nabhan, S.pd betapa
terkejutnya aku ketika melihat nama
pasangannya, drg. Mauliya. Seketika itu aku pun berseru “Subhanallah.
Bukankah ini putri bungsunya al ustadz Nawawi, dokter gigi yang cantik dan begitu
mengagumkan itu. Sungguh luar biasa engkau kawan. Banyak semangat yang perlu ku
ambil darimu. Pembelajaran tentang penerimaanmu, kekuatanmu dalam kondisi
sulit, dan tentu saja penyertaan senyum di setiap keadaanmu. Akan ku petik itu
satu per satu darimu, aku ingin sepertimu. Ku mulai dari meminjam senyummu.
Senyum
setia pun merekah. ^_^
Sabdanas Yosi
0 Response to "Ku Pinjam Senyummu"
Posting Komentar