Ku Pinjam Senyummu

sore yang melelahkan, serangkaian  aktivitas kerja dari pagi hingga sore ini, cukup membuat diri ini ingin berlama-lama berada di mesjid sebelum pulang kerumah, sepertinya ada seseorang lain yang melakukan hal yang sama disini. Aku pun mendekatinya, ternyata ia teman yang lama sekali tak pernah bertemu.
“assalamu’alaikum”, sapaku pelan.
“wa’alaikumsalam warahmatullah”, ia membalas dengan senyum.
“sendirian saja , sudah lama tidak bertemu?”.
“oh ya, aku cukup sering disini. Bagaimana kabarmu?”
“lelah”, jawabku singkat.
“ada apa?”, ujarnya sambil mengernyitkan dahi.
“hehe.. kalau hari ini lelah, baru menyelesaikan perkejaan yang lumayan menyita tenaga”, celetuk ku ringan.
“hmmm...”, ia menghela nafas sambil tersenyum.
“boleh aku menyatakan keherananku?”, tanyaku penasaran.
“apa yang mengherankanmu wahai saudaraku setia?”, jawabnya dengan santai
“mengapa ringan sekali pembawaanmu, apa tak pernah bersinggungan dengan gundah?, apa tak pernah merasa payah?”, tanyaku beruntun.
“pernah”, ia memberi jawaban singkat.
“lalu, ada apa dengan senyum itu, selalu saja polos, selalu saja murni , dan selalu saja menghiasi wajahmu?”, tanyaku makin penasaran.
“lalu?”, ia pun balik bertanya.
“aku mau menyibak sedikit rahasia itu darimu, berkenankah kau mebaginya?”pintaku.
“mungkin ini terlihat sulit atau mudah, ya? Tergantung persepsimu. Kau tau, aku seorang pria dengan umur yang nyaris tak lagi muda, bagi orang sepertiku apa kau pikir tidak ada gundah, tidak bertemu dengan yang namanya payah?”ujarnya mengawali penjelasan.
“aku dengan keterbatasanku, kau lihat tubuh ini, hanya ditopang satu kaki saja, kawan. Kecelakaan itu tak pernah kusalahkan, beginilah keadaan yang digariskan untukku. Dulu, sempat beberapa kali ku coba mencari pendamping hidupku. Awalnya aku dipertemukan dengan seorang gadis biasa saja, dari keluarga sederhana, memiliki pemahaman agama yang cukup mebuatku kagum, dan dengan paras yang cantik bisa disebut bidadari dunia. Bagiku wanita bisa disebut bidadari dunia jika cantiknya beriringan dengan nilai moril dan nilai agama yang dijunjung tinggi, apa kau setuju denganku?”
“ ya, lalu?”, angguk ku tanda setuju.
“aku memutuskan untuk bertamu sebagai laki-laki sejati berhadapan dengan orang tuanya. Bukankah laki-laki sejati itu harus tau bagaimana bersikap jika ingin menjadi bagian dari keluarga orang yang hendak dijadikan teman hidupnya?”, tambahnya.
“hahaha, tentu saja, kawan”, aku tertawa kecil.
“dan aku melakukannya, tentu dengan keyakinan juga di iringi ketakutan?”
“mengapa harus takut?”, tanyaku heran.
“Aku hanya takut, kekuranganku ini mendatangkan keraguan dari pihak keluarganya, apalagi aku hanya seorang sol sepatu dan guru privat waktu itu, yang yah... bagi sebagian orang itu tidak cukup meyakinkan. Ternyata hal yang aku khawatirkan tidak lah terjadi. Mereka menerimaku, karna bantuan calonku memberi pemahaman, Membahagiakan bukan?. Jelang persiapan ijab kabul, hal membahagiakan itu bergemuruh buram seketika karna mendung menyertainya. Sang calon pengantinku tergelincir di tangga di tempat  ia bekerja, dan seketika itu jua dipanggil sang pencipta. Apakah itu tidak cukup membuat gundah?. Hei, tidak kawan ! bahkan itu menganak air mata. Tapi apa kau tau, hal itu tidak membuatku putus asa, setelah setahun dari kejadian itu, aku tetap berusaha menyempurnakan separuh agamaku dengan mencari kembali calon pendamping hidup sesuai kriteria agama. Jalan yang kedua kali yang ku tempuh ini, agak sedikit sulit. Setelah ku menyatakan siapa diriku, maka proses penerimaanku harus menunggu pertimbangan yang cukup lama dari orangtuanya. Aku menunggu selama 2 bulan, selama itu tentu doa-doaku makin panjang saja, berharap semua tidak terjadi diluar dugaanku. Namun ternyata, kabar kepergian calonku yang duluan ku terima, kanker paru-paru itu yang membawanya pergi menghadap Tuhannya. Hmm... ternyata itu yang membuat pertimbangan itu kian lama, mereka tidak tega merepotkanku. Bahkan aku seperti meringis kesakitan ketika orang tuanya meminta maaf baru mengabarkan kepadaku, bersamaan dengan kabar itu mereka sampaikan penolakan atas diriku dengan alasan tidak ingin merepotkanku. Hei bukankah, aku tidak pernah menyatakan keberatan untuk merawatnya apapun yang terjadi?. Allah lah yang punya ketentuan itu saudaraku. Untuk kedua kalinya skenario yang sama dengan jalan yang berbeda”
“lalu, bagaimana keadaanmu sekarang? Dengan serentetan peristiwa dulu yang  membuatku berharap aku juga kuat sepertimu, menurutku ternyata kisah hidupmu benar-benar berat”, tanyaku menyimpulkan.
“sudah kuduga kau akan menyatakannya berat. Aku hanya menegaskan ke diriku tentang penerimaanku terhadap diriku sendiri, dengan demikian aku bisa meletakkan keyakinan orang lain juga akan menerimaku. Jika terjadi sebaliknya maka akan ada intropeksi diri lebih ketat terhadap diri ini, apakah diri sudah tidak lagi menerima keadaannya yang seperti ini? Maka hanya permohonan untuk selalu jadi hamba yang bersyukur yang sering kusampaikan dalam doa. Dengan demikian, setidaknya keringan hidup biasanya akan terasa”.
Hening beberapa menit. Nabhan mulai menggeser tongkat kayunya untuk bersiap-siap pergi.
“sepertinya sore semakin redup, aku mau pamit dulu, namun sebelumnya , ini untukmu”,Nabhan menyodorkan sebuat amplop putih sambil tersenyum dan kemudian mengucap salam dan lalu pergi.
Aku hanya memandangi punggung Nabhan yang makin lama menghilang di sebalik dinding, aku pun melirik amplop yang baru saja di berikan temanku itu, aku penasaran dan segera membuka amplop itu dan ternyata isinya adalah undangan pernikahan yang cantik. Disana tertulis nama temanku itu Muhammad Nabhan, S.pd betapa terkejutnya aku ketika melihat nama  pasangannya, drg. Mauliya. Seketika itu aku pun berseru “Subhanallah. Bukankah ini putri bungsunya al ustadz Nawawi, dokter gigi yang cantik dan begitu mengagumkan itu. Sungguh luar biasa engkau kawan. Banyak semangat yang perlu ku ambil darimu. Pembelajaran tentang penerimaanmu, kekuatanmu dalam kondisi sulit, dan tentu saja penyertaan senyum di setiap keadaanmu. Akan ku petik itu satu per satu darimu, aku ingin sepertimu. Ku mulai dari meminjam senyummu.
Senyum setia pun merekah. ^_^

 Sabdanas Yosi

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Ku Pinjam Senyummu"

Posting Komentar