Melodi itu Bernama Kenangan

Ngiiikkk..... (*pedal rem sepeda berbunyi). Ah... akhirnya sampai juga di Blog yang udah kayak kuburan {hehehehehe}.
Bismillah...
Assalamu’alaikum...(Sambil ngelus-ngelus bulu kuduk serem, hihihii :-D)
Heumm... mau ngasi petatah petitih nih sebelum “berkoar-koar” disini J
“Tak jera mengingat masa yang sudah-sudah
            Tak bosan pula menukilnya lewat cerita
           Tak enggan menghapusnya walau usang”
            (Yosi)
Yup... bener banget ! {Petatah petitih sendiri dibenerin aja deh :-D }. Guys, sering nggak sih ngelamunin keadaanmu yang dulu-dulu?. Kadang-kadang kita ini suka ngaco (kita???? Lo aja kali) baiklah..baiklah.... :-D. Jadi, begini, kalau kerjaan kuliah udah beres atau lagi nggak ada tugas atau kerjaan rumah nggak ada yang musti dikhawatirkan lagi, seringkali aku suka inget atau ngelamunin dimana saja aku bermukim, bertumbuh dan berkembang {hahaha}, pengen rasanya ngulang waktu and balik lagi kesana {ngaco , kan???}. Tempat paling berpengaruh setelah rumah bagi berprosesnya aku sebagai manusia adalah dunia luar (Jeng....jeng..jenggg...)
Yellow Green House
{Awalnya hanya biasa saja}
Rumah sederhana yang berpenghuni 9 orang itu guys..., menjadi tempat kedua setelah rumahku,  dimana aku bermetamorfosis dari kepompong {proses pencarian jati diri}  tapi nggak tau juga nih apa udah jadi kupu-kupu {sudah menemukan jati diri}, what ever lah, thanks God, aku punya kenangan disana. Ngomongin soal kenangan, tentu aja bejibun, semuanya terasa begitu nyata setelah tidak lagi di sana {hiks...hiks.. bener nggak sih L }. Suka dan duka di rumah itu, aku punya versi tersendiri dari sudut pandangku, kadang hal tak menyenangkan pun adalah sesuatu yang berharga untuk di kenang {ngapain coba hal-hal nggak enak di inget-inget} itung-itung instropeksi. Tapi yang bikin cerita lama itu indah di kenang bukanlah pada hal yang menyakitkan, namun pada hal-hal unik yang menarik terjadi dimasa itu.
Yellow Green House
{Mencoba mengikat kenangan yang terserak}
Sesekali aku berkunjung kesini, kreek... bunyi pagar rumahnya masih sama J, Namun aura rumah tersebut sudah jauh berbeda, aku mencoba  mengutip kembali ruh-ruhku dulu yang rasanya masih tertinggal, tentang janji yan terlupakan, tentang semangat yang terhenti, ah... kok jadi serius??? {Yukk, kita berserius ria sebentar, menggugah hal paling sensitif, kenangan}.
Aku mulai menyamankan diri dengan duduk lesehan didepan meja kecil, di mana komputerku dulu nangkring di sana. Aku ingin duduk senyaman mungkin dan bertukar cerita dengan penghuni baru rumah ini, tapi sayang, mereka punya kesibukan yang tak bisa terganggu saat aku berkunjung kesana. Jadi, aku menikmati mengingat sudut-sudut rumah itu sendirian {Nggak sedang diceukin kok :-D }. Saat sedang serius-seriusnya mengamati rumah yang pernah kutempati ini, aku dibuat terkejut dengan sekelebat bayangan dan suara.
“Yosi... Numpang masak”
Yosi, ambil kelapa yuk..”
“Yosi... temenin kakak ke pasar ...”
“Yosi... Udah selesai nyetrika??”
“Yosi... ane punya nasyid baru nih, tukeran yukk..”
Kak, ikut ke warung Bude, nggak?”
Ah, suara-suara penghuni dulu dan bayangan mereka sukses membuatku kaget karna terasa begitu nyata. Entah kenapa hal-hal seperti itu terekam jelas olehku, tentang semua penghuni-penghuni dulu yang pernah disini bersamaku. Tentang hal yang paling sering mereka kerjakan dan berbagi denganku atau tentang hal yang tak pernah terlalu serius kuamati, tapi tetap saja aku mengingatnya. Duduk ditengah ruangan ini, deretan kejadian tengah bolak-balik mengisi pikiranku, kulirik ke dapur maka akan kutemukan temanku yang melakukan eksperimen masak memasak dengan resep baru, melihat ke kamar maka aku seperti melihat kakak tingkatku yang lagi asik baca buku sambil tiduran dan senyum-senyum sendiri, sekilas melihat meja makan masih terngiang jelas seorang kakak tingkat menyuruhku untuk banyak makan sayuran, ku alihkan pandanganku ke sofa reot disudut ruangan , ku lihat ada adik tingkat yang sedang menata kuku dan memakai masker wajah, dan terakhir ku lirik meja kecil dimana komputerku dan komputer temanku bertengger rapi, seketika  masih terasa nyata aktivitas kami berbagi file apa saja disana. Persis ditempat yang aku duduki saat berkunjung waktu itu, dulunya tempat itu kami gunakan untuk majlis ilmu mingguan dan majlis makan bakso setiap awal bulan. {mulai terharu }.
Yellow Green House
 (Saat kami merasakan setetes “kesejukan” secara serentak)
Hal yang tak pernah terlupakan di rumah itu adalah saat kami bubar shalat berjama’ah dirumah demi memenuhi panggilan shalat berjama’ah di mushalla {Alamak ! bisa-bisanya, ckckckckckck}. Guys, ini dia yang aku sebut dengan “merasakan setetes kesejukan secara serentak”. Sepertinya malam itu adalah Shalat isya’ paling berkesan  sepanjang dua setengah tahun aku tinggal di sana. Kami yang notabene perempuan semua sudah jelas akan shalat berjama’ah dirumah saja, seperti biasanya setelah bergiliran ngambil wudhu’ dengan  kamar mandi yang cuma satu, aktivitas di ruang tengah mulai menyuguhkan nuansa religiusnya, ada yang  baca Qur’an sembari menunggu yang lain selesai shalat sunnah, ada yang mengamati sajadah setelah shalat sunnah nggak tau lagi ngerenungin apaan, ada yang lagi berdzikir, hmmm... komplit.
Terdengar kalimat iqomat terakhir dari musholla tak jauh dari rumah kami, pada saat itu kami juga  tengah bersiap mengatur shaf shalat.
“’Shaf, rapat dan luruskan”, perintah sang imam.
Takbiratul ihram sudah terdengar lebih dahulu di mushalla, menyusul bacaan surah alfatihah oleh sang imam mushalla.
Disini, tepatnya di rumah , suara lembut sang imam yang tak biasanya berperan penting dalam bubarnya shalat isya’ berjama’ah dirumah saat itu.
Bismillaahirrahmaanirrahim.. Alhamdulillahi rabbil ‘alamiin...
Eh, suara imamnya beda !”, salah satu dari kami nyeletuk  tanpa rasa bersalah, padahal imam shalat berjama’ah di rumah siap-siap akan takbiratul ihram. Serentak kami langsung memandang si kakak sumber suara, kami pun kemudian mendengarkan serius suara imam di mushalla  malam itu, memang tidak seperti suara imam biasanya, selang dua menit kami mendengarkan suara imam mushalla dengan khidmat, sambil saling bersitatap seolah-olah sebuah isyarat, kami lantas bubar, mengambil sajadah masing-masing. Rumah sepertinya sangat terasa huru hara, hilir mudik penghuni rumah buru-buru cari kaos kaki dan sendal, layaknya   perlombaan lari, kami saling mendahului menuju mushalla, tanpa sadar, rumah, kami tinggal begitu saja {alhamdulillah nggak kenapa-kenapa}. Sampai di mushalla, terjadi sedikit suara gaduh karna ada serombongan kecil jama’ah masbuk (Penghuni Yellow Green House, yaitu kami :-D). Kami pun mulai khusyu’ mengikuti bacaan imam yang waktu sampai di sana sang imam telah memasuki bacaan ayat pendek di rakaat pertamanya. Ada rasa yang berkecamuk tersendiri bagi masing-masing kami. Bagi diriku pribadi, waktu itu, mendengar suara imam yang beda dari biasanya , seperti ada setetes air yang tengah tumpah ditanah yang kering, nyessss... sejuk banget.
“Assalamu’alaikumwarahmatullah....”, terdengar suara  imam mengucapkan salam tanda akhir shalat isya’ malam itu.
Usai shalat, masing-masing kami secara spontan saling berpandangan  dan senyum-senyum dengan kejadian diluar dugaan waktu itu, masbuk berjama’ah karna kecantol suara imam. Rumah pun heboh dengan berbagai argumen, tentu saja kalimat yang tak ketinggalan adalah “kok, bisa ya?”. Kami pun mengutarakan pendapat kami tentang apa yang kami rasakan saat mendengar suara imam yang sampai sekarang kami tak pernah tau siapa imam shalat isya’ malam itu, yang penting suaranya sudah dengan mantap menggugah  relung hati kami yang mendengarkan secara serentak {berapa banyak ya pahala si imam, mengingat yang tersentuh lebih dari satu :-D}. Mungkin, kami tengah mengalami kergersangan yang berbeda-beda waktu itu, dan tumpukan kegiatan sehari-hari yang jenuh tertata disudut pikiran masing-masing, sehingga terasa ada yang ringan  ketika terkena siraman suara indah. Suara imam tersebut, bagiku pribadi, merupakan “hadiah kesejukan” yang Allah kirim sebagai peringan beban yang tengah dirasakan. Celotehan tentang imam dan itu lebih kepada suaranya yang kami diskusikan, kembali menghangatkan ruang tengah tempat kami berkumpul, memang ruang itu jarang sekali kami gunakan untuk  bercengkrama seperti saat itu, karna hanya  aktivitas sholat, majlis ilmu mingguan dan akitivitas belajarlah yang kerap ada disana. Renyah sekali rasanya suasana malam itu, ruang tengah yang  menjadi ajang berekspresi tentang yang dirasakan malam itu, semua terlontar dengan gamblang, ahh... plooong sekali.. J.
Di akhir argumen dan celotehan tentang kejadian tak terduga itu, kami sepakat akan berkunjung kembali ke musholla tersebut untuk sholat berjama’ah, barangkali ada titisan hidayah lain yang akan mengobrak-abrik kegersangan yang berderak di sudut ini {hati}. Namun ternyata, Allah tak menitipkan lagi “kesejukan” itu disana, mungkin ditempat lain atau kejadian lain, saat kami mendatangi kembali mushalla dan berharap dapat mendengarkan suara lantunan alfatihah yang berbeda, keadaan tak seperti yang diharapkan, tak lagi mendengar suara imam yang berbeda seperti malam kemarin dan ternyata imam yang suaranya menggugah kami malam kemarin, hanyalah seorang ustadz yang kebetulan singgah dan diminta menjadi ima di mushalla itu, begitu yang kami dengar dari salah seorang jama’ah disana.
Guys, lantas adakah yang berubah? Tentu saja, kami seperti merasa kehilangan, padahal kenal juga tidak, tau wajahnya pun tidak, namun suaranya itu yang telah terikat di benak kami, kami seperti anak kehilangan ibu, kecewa. Bukan sehari  itu saja  kami mendadak berkunjung ke musholla hingga membubarkan shalat berjam’ah di rumah, sebelum-sebelumnya kami juga sering kesana, akan tetapi moment mahal seperti itulah yang tak sering kami dapatkan, setitis kesejukan seperti itulah yang sesekali terjadi pada diri kami.
“Setetes kesejukan dari sumber yang indah (Allah) walaupun hanya setitik mampu menerobos kegersangan yang berlapis-lapis”.{masih petatah petitihku sendiri :-D}
Hmmm.... Guys, kalo dibongkar-bongkar lagi “kotak memori” otakku ini sebenarnya masih banyak yang namanya kenangan bagus terjadi di waktu yang sudah-sudah, namun saat ini, hanya ini yang tengah bergentayangan dan mampu tertuangkan menjadi “kicauan” sederhana tentang nikmat Allah akan kehidupan yang aku jalani berikut kejadian-kejadian yang alhamdulillah banget, Allah masih memberiku kesempatan untuk mengingatnya.
“Maka Nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?” (Arrahman: 13)

Sabdanas Yosi, Ahad 27 10 2013 (11:00 AM)

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Melodi itu Bernama Kenangan"

Posting Komentar