Assalaamu’alaikum,aku pamit
sebentar mau ke kota ada suatu hal yang perlu aku selesaikan.
Murni.
Tiba-tiba isi surat singkat yang pernah tanpa
sengaja aku baca bermain kembali di ingatanku. Di sela-sela istirahat ku di mesjid kampus kali ini ada suatu kerinduan pada kampung halaman ku di tepian
sungai bakau. Terakhir aku bisa pulang saat libur kuliah semester kedua. Mungkin
kerinduan ini yang membawa ingatanku ke 10 tahun yang silam itu, dimana aku
adalah pendatang baru di desa sungai bakau. Kami sengaja pindah ke desa ini
untuk alasan kedamaian dan ketenangan hiruk pikuk di keramaian kota, begitu
alasan orangtua ku. Padahal aku tahu kesusahan finansial lah yang membawa kami
kemari.
Ibu pernah menceritakan kepadaku mengenai
tetangga kami yang sedikit aneh itu. Si Pungguk, begitu orang-orang
menggelarnya, karena sering kali warga mendapatinya selalu duduk sendirian di
perahu miliknya dan dibawah sinaran rembulan, bak si pungguk rindu kan bulan.
“Eh,
Pungguk, maukah bulan itu berbicara denganmu?” ledek seorang warga yang sering kali
memperhatikannya berlama-lama di tepian sungai.
Pagi itu, ibu menyuruhku untuk mengambil
handuk yang terbang dibawa angin kencang tadi malam hingga tersangkut di sudut
tiang rumah milik si Pungguk. Malam itu, ibu lupa mengambil jemuran, dan tidak
tahu akan ada angin kencang. Awalnya, aku sedikit takut karena cerita ibu dan
orang-orang desa ini mengenainya, tapi ibu memaksaku untuk segera mengambilnya.
Sedikit menegangkan namun aku harus kerumah sederhana itu.
“Assalaamu’alakum”,
suaraku memecah keheningan rumah yang menurutku bertambah aneh dan menyeramkan.
“Assalamu’alaikum,
bang Pungguk ada dirumah?”, tanyaku sedikit tegang.
Rumah itu tetap sunyi, hanya desiran angin
yang membelai atap rumbia rumah si Pungguk. Aku menunggu cukup lama untuk
meminta izin mengambil handuk yang tersangkut, sepertinya dia sudah pergi ke sungai mencari ikan.
Akhirnya aku memutuskan untuk memanjat sendiri dan mengambil handuk itu tanpa seizinnya.
Saat aku memanjat disisi kayu yang tersusun rapi berdekatan tiang itu, pintu
rumahnya tiba-tiba terbuka, aku terkejut bukan main sampai terjatuh. Aku pun
memandang cemas melihat pintu itu makin lama makin terbuka lebar, keringat
dingin mulai mengucur, memang aku tak pernah begitu memperhatikan wajahnya, yang
membuatku semakin takut ketika pikiranku membayangkan bahwa wajahnya juga aneh seperti
sikapnya. Aku menelan ludah ketakutan
sambil berdiri. Rasanya ingin lari saja saat kondisi semakin menegangkan
seperti itu, namun aku memutuskan untuk menyapa kembali sunyinya rumah itu.
“bang,
maaf handukku tersangkut ditiang rumah abang, aku pikir tadi tidak ada orang”.
jelasku dengan senyum gugup.
“aku
sudah memanggil-manggil dari tadi”, tambahku meyakinkan.
Rumah itu tetap sunyi, bahkan tidak ada
tanda-tanda ada orang didalamnya. Aku semakin penasaran. Untuk anak 12 tahun sepertiku,
penasaran dan ketakutan membuatku bingung untuk memutuskan pulang saja atau makin
berani bertamu, tapi naluri penasaranku lebih kuat, aku memberanikan diri masuk
melangkahkan kaki kedalam rumahnya. Saat pertama melangkah aku mulai merasakan
kesejukan yang nyaman. Sekilas dari luar, rumah ini amat buruk karna sebagian
kayunya yang rapuh dan warna rumah yang lusuh. Ruangan yang amat bersih, walau
lantainya tanah, namun di alas karpet plastik yang sudah lusuh namun tetap
bersih. Berbeda sekali dengan rumahku, yang luasnya lebih sedikit besar dari
rumah ini dan kerapian dirumah ini lebih
terjaga. Di sudut kanan dalam bagian rumah ini ada sepetak panggung sederhana
yang dibuatnya, tidak terlalu lebar cukup untuk diduduki 3 orang. Sepertinya panggung
ini digunakan untuk tidur dan juga sholat, mengingat lantai rumahnya tanah. Ada
sederet buku di atas rak kayu coklat yang bertengger disudut panggung itu.
Mataku menerawang keseluruh sudut rumah, ah rumah miskin yang menyejukkan,
pikirku sambil tersenyum sendiri. Betapa aku ingin berlama-lama disini sehingga
aku tidak bosan bolak balik dari depan hingga kebelakang rumah ini, aku tak
ingin ketinggalan kesan-kesan sederhana yang mengagumkan dari rumah ini. Saat
aku kembali berjalan kedepan sambil melihat-lihat atap rumahnya, tanpa sengaja
lututku menyinggung sebuah kursi yang berada disamping kiri panggung, aku pun
meringis kesakitan. Cepat-cepat kuletakkan kursi tersebut ke posisi semula,
gugup kembali menyeruak dalam diriku menepis pesona yang mencengangkan ku dari
tadi. Aku sangat gugup, sehingga saat kuperbaiki posisi kursi, kursi tersebut
menyenggol kuat meja disampingnya dan
berserakanlah beberapa kertas yang jatuh dari dalam laci meja kecil itu. Tanpa
pikir panjang aku pun segera membereskan kertas tersebut, disanalah aku tak
sengaja menemukan sepucuk surat dan kuputuskan untuk membaca karna kertas
tersebut tidak terlipat rapi dari seseorang bernama Murni.
***
“
aghis, tolong belanja kepasar beli sayur dan ikan buat ibu masak”, Pinta ibu.
“kenapa
baru siang ini kepasar, apa masih ada yang bisa dibeli jam segini dipasar, bu”,
tanyaku sambil mengernyitkan dahi.
“iya,
adikmu tiba-tiba demam panas tak bisa ibu tinggal, sedangkan ayahmu pagi-pagi
sekali sudah berangkat mengerjakan satu urusan dirumah teman katanya”, jelas
ibu sambil berlalu membawa segelas air putih.
Aku pun mengiyakan permintaan ibu, meskipun
lelah menderaku pulang sekolah. Ibu bilang hari ini ada pasar mingguan, jadi
tetap ramai sampai sore nanti. Menelusuri jalan menuju pasar yang tak seberapa
jauh dari rumahku, terbesit dipikiranku
untuk kembali bertamu kerumah si Pungguk untuk menuntaskan kepenasaranku
mengenai kehidupannya. Belum hilang rencana-rencana yang aku pikirkan dari tadi
saat ingin kerumahnya, tiba-tiba aku melihat sosoknya sedang melakukan
transaksi dengan pembelinya. Aku tidak berapa pasti dengan wajahnya, sepertinya
itu dia karna ibu juga bilang bahwa dia bisu.
“berapa
ikannya sekilo?”, tanya seorang pelanggannya.
Sambil
menunjukkan sepuluh jari tangan ia menyebutkan harga ikan tersebut ke
pelanggannya.
“sepuluh
ribu?, kan sudah siang begini”, tanya si pelanggan agak ketus.
“delapan
ribu, ya?”, pinta sipelanggan.
Tampak
raut sedikit kecewa diwajahnya, namun ia menganggukkan kepala menyetujui
permintaan pelanggannya.
Aku perhatikan saja apa yang dilakukannya
dari tadi semenjak aku sampai dipasar ini, ia selalu mengalah dengan harga tawaran
pelanggannya. sebentar-sebentar ia tesentak kaget saat tertidur dan menyadari
dagangannya, ia pun menghalau lalat yang mulai menghinggapi ikan-ikan miliknya.
Aku berlalu sambil mencari pesanan ibu, hanya satu ikat bayam yang kudapat,
ikan belumku beli. Aku mulai mengitari pasar, tidak menemukan ikan yang menurutku
enak untuk dimasak hari ini. Terpikir olehku untuk membeli ikan si Pungguk, aku
pun berjalan menuju tempat dimana ia menggelar dangangannya. Saat akan sampai
aku mulai ragu dan teringat kejadian aku mendatangi rumahnya kemarin pagi, aku
pun mulai memutar langkahku dan memutuskan membeli ikan yang ada di depan
dagangannya.
***
Malam ini menu makan malam kami ikan, ayah
tersenyum melihatku makan begitu lahap. Hari-hari biasanya makan malam kami
hanya tahu dan tempe. Ibu hanya memasak ikan sekali dalam seminggu untuk
menghemat biaya makan sehari-hari. Selesai makan malam biasanya kami berkumpul
diruang keluarga yang hanya beralaskan terpal ditambah karpet plastik.
“ibu,
si Pungguk tinggal sendirian, ya?”, tanyaku membuka percakapan.
“ibu
juga tidak tahu, ghis. Warga disini bilang ia juga pendatang seperti kita”,
jelas ibu.
“mengapa
kau menanyakan si Pungguk?”, ibu perhatikan tiap pagi kau memandangi rumahnya.
Selidik ibu.
“aku
hanya ingin tahu, bu. “, jawabku singkat.
“lalu,
bangunan apa yang ada antara rumah kita dan rumah si Pungguk?”, tanyaku lagi.
“ibu
pernah diberitahu salah seorang warga disini, bahwa bangunan itu dulu adalah
bekas musholla, karna tidak pernah dipakai lagi dan sering diterpa angin maka
lama-lama bangunan itu rapuh dan roboh”, jelas ibu.
“Kau
lihat kayu-kayu yang tersisa disana?”, tanya ibu sambil menunjuk kearah
bangunan itu lewat jendela, kayu-kayu bangunan itu juga sudah mulai rapuh dan
ibu lihat sebagian warga banyak yang mengambil diam-diam sisa-sisa kayu yang
bisa digunakan.
“Sebenarnya
warga disini terlalu berlebihan”, tukas ayah menyambung penjelasan ibu. Ayah
pikir si Pungguk itu biasa saja dan seperti kebanyakan orang lain, itu mengapa
ayah memilih tinggal berada disebelah rumahnya, walaupun ibumu tidak begitu
setuju.
Ibu
yang disinggung mengenai ketidaksetujuannya hanya menghela nafas sambil
menyelimuti adikku yang sakit.
***
“Assalaamu’alaikum,
aghis”, sapa seorang pria dibelakangku.
Seketika
lamunanku buyar dan membalikkan badan dan mencari tahu siapa pria dibelakangku
ini.
“eh,
wa’alaikumsalam warahmatullah, gibran, kapan kamu disini?”, tanyaku sambil
melempar senyum.
“aku
di mesjid ini dari tadi bro, tapi
baru berada dibelakang kamu beberapa menit yang lalu. Aku lihat doamu panjang sekali, jadi aku menghampirimu karena
penasaran”, ujar Gibran.
“ah,
kamu ini bisa saja”, tukas ku.
“ayo
lah, sedang bermasalah, ya?, dimana, dikampus? Atau di kerjaan part time mu?”. Gibran menyerangku
dengan beberapa pertanyaan.
Sejenak
aku menghela nafas dan memandangi sahabat ku itu dengan lekat.
“Aku
merindukan kampung halamanku”, jawabku mengawali pertanyaan yang bertubi-tubi
tadi. Tidak hanya rindu tapi aku memikirkan nasib desaku disana, cukup
terpencil. Aku sangat bersyukur bisa berada di perguruan tinggi ini. Lewat
perjuangan ayah yang tidak pernah patah semangat menyuruhku untuk menyelesaikan
pendidikan minimal sampai ke jenjang SMA, tapi
alhamdulillah aku bisa ke
jenjang perguruan tinggi. Sehingga ada beberapa tekad yang ingin aku tanamkan
jika telah lulus dari universitas ini.
“apakah
kamu juga merindukan seseorang disana?”, goda Gibran.
“yah...
kamu, Gibran, Aku dari tadi serius”. Ujarku ketus.
Aku
sejenak terdiam, mencerna kata-kata gibran, merindukan seseorang. Sepertinya
iya, aku merindukan si Pungguk.
Tiba-tiba
Gibran memukul pundakku.
“
tu, kan, sepertinya diammu menyimpan sesuatu?”, selidiknya.
Ya
sudah, jangan terlalu dipikirkan. Fokus saja pada tugas akhirmu, bukankah kamu
merindukan kampung halamanmu dan aku tahu kemana arah pembicaraanmu tadi, kamu
ingin mengabdi didesamu, kan? Membantu membangun moril desa itu? Ehem... jadi ustadz, begitu, kan?”. Jelasnya sambil
membereskan tas ransel dan siap-siap meninggalkan mesjid.
Aku
hanya bisa tersenyum dengan gambarannya tentangku. Oh, betapa sahabatku ini
memahami keadaanku. Tak lama beberapa menit gibran pergi, aku pun ikut
meninggalkan mesjid dan kembali menyusuri jalan pulang kekontrakan sederhanaku.
***
Malam ini, aku harus selesai mengolah data
penelitianku, gumamku dalam hati. Setelah shalat isya aku menyiapkan bahan
kuesioner yang telah ku sebarkan seminggu yang lalu, kemudian mengambil buku-buku yang berhubungan dengan
tugas akhirku Sambil menyusun kembali buku-buku yang sedikit berantakan di rak
bukuku dan merapikan kertas-kertas
dimeja tulisku. Setelah beres aku pun tersenyum lega melihat buku-buku sudah
tersusun rapi, aku terus melihat deretan buku-buku itu hingga mataku tertuju
pada satu buku yang berwarna hijau, dengan judul taman-taman syurga. Aku ingat,buku
ini dihadiahkan si Pungguk kepadaku 3 tahun yang lalu. Aku ingat jelas saat
bertamu kerumahnya. Ia menyambutku dengan sikap dingin dan tidak bersahabat,
namun aku coba meyakinkannya aku ini Aghis yang sering main kerumahnya dulu. Ia
pun memandangiku lekat, dan mulai menyentuh wajahku dan memegang jenggot tipis
yang menghiasi daguku, setelah itu dia tersenyum. Ia mulai bisa menerima
kedatangan orang lain, walaupun hanya aku yang sering kesana selama liburan 3 tahun
lalu. Karna sudah merasa akrab aku mulai memberanikan diri bertanya kepadanya.
“bang,
keluarga abang yang lain mana?”, tanyaku hati-hati.
Ia
pun menolehkan pandangannya sejenak kepadaku, dan menggelengkan kepala.
Sepertinya ia tidak ingin menjelaskan atau sedang malas membahas masa lalunya. Kulihat
ia beranjak dari sajadah lusuhnya menuju ke dapur, beberapa menit kemudian ia
keluar dengan secangkir teh manis dan mempersilakan aku meminumnya dengan
isyarat tangannya.
“terima
kasih bang”, balasku.
Rumah
itu hening sekali, aku menikmati teh buatannya dan diapun kembali membersihkan
hasil tangkapannya. Untuk memecahkan kesunyian rumah itu aku pun menceritakan
bahwa aku sudah masuk perguruan tinggi, bagaimana kegiatan dan organisasi
padatku di kampus. Ia hanya menoleh kepadaku sesekali sebagai tanda ia
mendengarkan celotehanku. Aku senang menceritakn mesjid di kampusku dan sangat
suka berlama-lama disana, saat aku suntuk, senang, sedih, aku selalu disana. Ia
pun terlihat sedikit terhenti dari pekerjaannya dan membalikkan badan mencuci
tangan dan mengambil sesuatu di rak bukunya. Sebuah buku berwarna hijau ia
serahkan dengan senyum penuh arti kepadaku. Aku senang sekali waktu itu. Malam
bertambah gelap aku pun harus pamit pulang, karna hari itu hari terakhirku
dikampung sebelum balik lagi ke kota tempatku menuntut ilmu. Ia seolah tahu itu,
padahal aku tidak memberitahunya sehingga ia menghadiahiku buku taman-taman
syurga ini untukku.
***
Sebulan
kemudian...
Selesai sudah perjuanganku menempuh studi.
Hari ini aku berdiri bersama rekan-rekan seperjuanganku dengan toga hitam
bertengger di kepalaku. Acara wisuda yang membawa kenangan tersendiri nantinya
meskipun Ibu dan Ayah tidak bisa hadir menyaksikan acara wisudaku hari ini.
Terbayang olehku, aku akan segera kembali
kekampung halamanku. Melihat wajah Ayah, wajah Ibu, dan adik perempuanku, serta
tetanggaku yang sedikit misterius,si Pungguk.
Acara wisuda berlangsung pagi hari hingga
pukul sebelas siang. Aku memutuskan untuk segera pulang hari ini juga karena
kebetulan kontrak rumah dalam dua hari lagi akan berakhir dan aku juga sudah
memesan tiket kapal untuk pulang ke daerahku semalam. Aku menyempatkan diri
untuk hadir di acara perpisahan yang diadakan dirumah Gibran beserta
rekan-rekan lainnya. Acara yang sederhana dan cukup bermakna buatku, Gibran, ku
pandangi sosok itu dari jauh dengan senyum penuh terima kasih saat ia sedang
menikmati kegembiraan acara dengan rekanku lainnya. Ia kukenal saat pertama
kali manginjakkan kaki di kota ini dalam keadaan bingung. Dia jugalah yang
membantuku memperkenalkan kemegahan kota ini, dan menceritakan berbagai macam
cara hidup disini, beruntung Allah mempertemukanku dengannya, yang membuatku
melalui hari-hari di kota ini, hari-hari sebagai mahasiswa disini, penuh arti.
Acara pun berakhir dengan saling bermaafan, aku buru-buru segera pamit karena
jadwal keberangkatan kapal sudah dekat, kupegangi tangan Gibran sangat erat
saat berpamitan, seolah-olah tak ingin melepaskannya, akhirnya hanya senyumnya
yang berhasil kubawa.
Kapal melaju diatas permukaan air yang damai,
hembusan angin yang menerpa ubun-ubun membuatku kantuk namun bayangan-bayangan
acara perpisahan tadi masih bermain difikiran, kerinduan-kerinduan akan kampung
halaman yang menyelungsup kedalam relung hati seolah tak ingin kalah dengan
kantuk yang tertahan. Akhirnya kuhantarkan semuanya ke alam mimpi selama
perjalanan.
***
“Assalaamu’alaikum,
ibu”, sapaku sambil berdiri didepan pintu.
Ibu
yang dari tadi asyik membersihkan jerami sepertinya tidak menyadari
keberadaanku didepan pintu,aku pun mengulangi salamku.
Asslaamu’alaikum,
bu”, kali ini suaraku lebih keras.
“wa’alaikumsalam”,
balas ibu sambil membalikkan badan.
Betapa
terkejutnya ibu melihatku didepan pintu seolah tak percaya anaknya yang
merantau guna menyambung pendidikan sekarang sudah berada dihadapannya.
“Aghis...”,
panggil ibu dengan senyum gembira.
“Ayahmu
pasti senang, kamu sudah kembali dari kota,” ujar ibu.
“
ayo masuk, nak, kenapa hanya berdiri disana”, tegur ibu melihat aku yang
terdiam mematung di depan pintu.
Aku
pun segera masuk dan menyalami tangan ibu, ku cium tangannya penuh khidmat.
“Aghis
rindu sama ibu dan ayah”, ujarku sambil memeluk ibu.
Mega
merah menjelang malam menjadi saksi akan kerinduanku yang sudah terlabuhkan,
aku bersyukur sudah menginjakkan kakiku kembali disini, dan malam mulai
menyelimuti kampung sungai bakau.
“Lelah
kau, nak?”, tanya ayah saat selesai makan malam.
“Iya,
yah, perjalanan hari ini cukup membuat lelah karena acara pagi hari tadi hingga
siang sebelum aku berangkat cukup mnyita tenagaku,”, jawabku sambil memegang
pundakku yang terasa pegal.
Ayah
hanya tersenyum melihatku dan memintaku segera beristirahat, karena besok pagi
ayah minta ditemani kesungai mencari ikan. Sudah lama rasanya tidak ke sungai,
mungkin sudah banyak juga perubahan-perubahan disana,pikirku.
***
“nak,
bawakan baju yang tergantung disebalik pintu itu kesini”, pinta ayah
Suara
ayah membuyarkan keheningan pagi yang sangat dingin, aku merasakan gigil yang
teramat sangat, perubahan cuaca panas ke cuaca dingin, sepertinya belum terbiasa, karena di kota hawanya sering
panas. Aku pun buru-buru mengencangkan jaketku dan membawakan baju tebal lengan
panjang berwarna hijau tua untuk ayahku.
“ini,
yah”, ujarku sambil meletakkannya dipundak ayah yang sedang sibuk menyisihkan
tali-tali yang terkait dijalanya.
Aku
perhatikan disekelilingku yang cukup banyak perubahan yang tadi malam sewaktu
sampai tidak ku perhatikan dengan jelas. Dan padanganku pun menoleh kekiri ke rumah
tetanggaku yang misterius itu, si Pungguk. Aku juga merindukannya, aku pun
segera kerumahnya karena takut kemungkinan dia akan segera pergi ke sungai.
“assalaamu’alaikum,
bang”, sapaku dari luar teras.
Tidak
ada jawaban. Rumah ini sepertinya sunyi sekali, sama keadaannya saat aku
pertama kemari. Aku pun mendongakkan kepalaku sambil melihat-lihat mungkin saja
dia terlelap.
“Assalaamu’alaikum”,
sapaku sekali lagi, kali ini aku lebih mendekat dan berdiri diterasnya.
Masih
tidak ada sahutan dari dalam. Rumahnya terlihat gelap, tidak seperti biasanya,
jendela pun tertutup rapat, dan anehnya banyak sarang laba-laba menghiasi
sudut-sudut terasnya. Aku pun berdiri menunggu repon yang tak kunjung ada.
Hingga tiba-tiba ada sebuah tangan mendarat di pundakku dan membuatku kaget.
“cari
siapa, aghis?”, tanya ayah.
“eh,
ayah, bikin kaget saja”, ujarku dengan wajah cemas.
“ini
yah, mau bertemu bang Pungguk, teringat ingin berkunjung kesini tiba-tiba”.
Ayah
terlihat menghela nafas panjang, sambil menyodorkan sebuah amplop lusuh
kepadaku ayah pun bercerita, bahwa si pungguk telah meninggal dunia, sehari
sesudah aku kembali ke kota saat liburan semester dua, tiga tahun lalu. Ia
meninggal di malam hari, saat sampan yang biasa ia gunakan untuk duduk diam
dibawah sinar bulan tiba-tiba terbalik karena angin dan ia pun tenggelam tanpa
ada orang yang tau, keesokan harinya seorang warga menemukan mayatnya sudah
mengapung ditepi sungai. Entah apa yang membuatnya tetap duduk disana padahal
angin terlihat tidak bersahabat malam itu, ayah juga sudah mengatakan padanya
kalau malam besok mungkin cuaca bagus dan malam besok saja ia melakukan
kebiasaannya itu. Bulan waktu itu benar-benar menampakkan sinar yang memukau, terang
ayah. Mungkin hanya bulan saksi kepergiannya.
“ayah
juga menyimpan beberapa buku miliknya untukmu, karena ayah takut barang-barang
tersebut akan hancur dimakan rayap, si Pungguk tidak memiliki kerabat disini,
dan kamu ayah lihat sangat dekat dengannya” jelas ayah.
“amplop
ini ayah temukan di meja kecil sebelah sana, untukmu, ayah pikir kau mau
membacanya dulu, besok saja kau temani ayah,” ujar ayah sambil berlalu
meninggalkanku.
Aku
terduduk diam sesaat, seolah tak percaya apa yang aku dengar dari ayahku.
Tanganku memegang erat amplop lusuh itu, tak kuasa akhirnya airmata itu tumpah
juga. Aku heran kenapa aku menangis, aku tidak terlalu mengenalnya, tapi
kepergiannya cukup menyisakan kehilangan bagiku. Terbayang saat-saat aku selalu
datang kesini dulu meskipun ia terkesan tidak memperdulikanku, terasa baru
kemarin aku bertemu dengannya. Aku menarik nafas panjang dan melepasnya
perlahan sambil membuka amplop, kutemukan surat didalamnya, sedikit aneh
menurutku, aku pikir dia bisu juga buta huruf.
Sungai bakau, 13 Februari
1999
Assalamu’alaikum, anak muda.
Aku senang melihatmu tumbuh
menjadi sosok anak muda. Si kecil yang dulu sering duduk dirumahku dengan
segudang pertanyaan tak terjawab dariku kini telah berubah menjadi pemuda
tampan dengan wajah memancarkan sinar ilmu. Aku senang mendengarmu melanjutkan
studimu ke perguruan tinggi. Aku juga bersyukur ada pemuda sepertimu, peduli
akan sesama. Aku ingin sekali berbagi cerita denganmu, namun aku tahu kau pasti
menganggapku aneh seperti warga disini, aku tak peduli sehingga aku menulis
surat ini untukmu. Engkau mungkin sama herannya dengan warga lain, yang tak
jarang melihatku menyendiri di atas sampan dan dibawah terang bulan. Sebenarnya,
aku hanya ingin merenung segala kejadian yang aku alami setiap harinya,
mengingatkan kembali kesalahanku dan memohon ampun kepada Tuhanku. Aku senang menemuiNya
dikesunyian malam, dan mungkin saja kau temui aku selalunya ditepi sungai itu
saat terang bulan, dan aku tidak tersinggung sedikitpun dengan gelar kalian
yang mengatakan aku bagai si pungguk rindukan bulan. Aku juga tahu kau membaca
surat dari istriku Murni , karna sepulang dari menangkap ikan, kulihat susunan
kertas dibawah meja tidak tepat posisinya. Aku dan murni pindah ke desa ini
atas niat yang baik, membangun moril warga disini dengan nilai agama. Kau tahu
salah satu alasanku menjauh di malam hari kesungai itu?, karena aku tidak ingin
tergangggu dengan aktivitas warga disini yang setiap malam berjudi, tidak
jarang terdengar perkelahian, kabar pemerkosaan, dan banyak lagi yang
meresahkan pikiranku dan aku hanya mampu berdoa ketepian sana setelah murni
meninggal. Istriku meninggal karna kecelakaan di kota saat ingin menyelesaikan
administrasi perpindahan ke kota. Sebelumnya aku sering mengajak warga mengikuti
pengajian di musholla yang berada diantara rumahmu dan rumahku, Atas
pertolongan Allah musholla itu berhasil ku bangun walaupun sendirian. Kegiatanku
ini mendatangkan ketidaksenangan bagi sekelompok warga yang merasa bisnis
perjudiannya bakal rugi jika warga akan sering ke mesjid, itu artinya akan
jarang singgah ke tempat perjudian mereka, hingga suatu saat aku dikeroyok
beberapa preman dengan wajah tertutup bagai ninja, malam itu mereka mungkin
berniat menghabisiku, dengan memasukkanku ke dalam sebuah karung dan memukulku
bertubi-tubi, beruntung ada seseorang yang menyelamatkanku, waktu itu aku
sekarat, dan preman preman itu mengiraku telah mati. Aku pun koma selama
sebulan, hingga saat tersadar aku dapati diriku sudah tidak bisa lagi
berbicara, karna saraf yang berhubungan
dengan lisanku tidak berfungsi seperti sedia kala. Aku sedih dan merasa putus
asa, karna bukan itu saja, aku juga mulai di fitnah telah menyebarkan ajaran
sesat hingga warga menjauhiku, dan akhirnya hanya sampan rapuh dan bulan itu
menjadi teman setiaku. Dulunya aku juga seorang mahasiswa sepertimu, yang
semangatnya berkobar-kobar seperti ceritamu tentang mesjid dan aktivitas
organisasimu, aku sangat senang saat tahu itu. Semoga kau mau meneruskan perbaikan
moril dikampung ini jangan pernah putus asa, aku yakin kau juga punya niat yang
sama denganku untuk kampung ini.
Tetangga misteriusmu
Muhammad Hanafi.
Subhanallah,
nama yang indah, andai saja engkau memberitahuku namamu, bang. Tidak akan ku panggilmu dengan nama itu. Pungguk. Tak terasa
aku meneteskan air mata haru atas perjuangan si Pungguk yang nama indahnya baru
ku ketahui saat ini, aku juga menemukan foto-fotonya saat dikampus dengan
rekan-rekan organisasinya dalam amplop ini, ku cermati satu per satu foto
itu,ternyata ia seorang aktivitis kampus yang menduduki beberapa jabatan
penting dalam organisasinya dulu. Kini ia telah tiada, aku hanya menemukan
kekosongan yang tak terawat dirumah itu. Semoga perjuanganmu tidak sia-sia,
bang, aku janji akan berusaha melanjutkan apa yang pernah engkau upayakan untuk
kampung ini. Seiring langkahku meninggalkan rumah yang penuh kenangan itu, aku
mulai memikirkan rencana-rencana kedepan untuk meneruskan perjuangannya
membangun desa ini yang juga merupakan niatku. Akan aku usahakan pencerahan
kampung ini dari tangan- tangan pemuda yang bersemangat untuk berbuat kebaikan
yaitu dengan meminta kampungku dijadikan tempat KKN (kuliah, kerja , nyata)
untuk adik-adik tingkatku. Dan akan ku perbaiki rumah bang Hanafi menjadi musholla
dan pusat belajar agama dikampung ini.
“Semoga kebaikan-kebaikan yang kau tanam disini juga bisa aku teruskan, bang”. Ujarku sambil
tersenyum penuh keyakinan.
Sabdanas Yosi, Mei 2013
0 Response to "Bulan dan Sampan Rapuh"
Posting Komentar