Nasi Menangis, Hidung Hilang , dan Derap Neraka (Sebuah Penanaman Nilai)

Ingin sedikit berbagi mengenai dongeng yang pernah ibu sampaikan kepada kami. Mungkin bisa dibilang dongeng, bisa juga hanya sebuah cerita , tapi apapun itu yang penting ibu telah dengan unik menanamkan nilai-nilai kebaikan kepada kami lewat peristiwa, bahkan bagiku yang sangat imaginatif ini. Well.. ibu kalian juga, ‘kan? ^_^
Nasi menangis
Waktu makan bagi anak-anak seusia 5 tahun atau 6 tahun itu lebih banyak bermain bukan? Bahkan tidak fokus pada makanan yang dimakan, lebih sering bercerita dan tanpa sadar mungkin remah-remah nasi berceceran. Nah, ibu dengan lugasnya mengatakan kepada kami, “ nak, lihat nasi yang berceceran itu dan nasi-nasi kalian yang tidak habis, kalian tahu tidak, nasi-nasi itu akan menangis jika dibiarkan begitu saja tanpa dihabiskan. Aku yang mungkin bisa dibilang imaginatif, langsung merespon ucapan ibu tadi dengan membayangkan, bagaimana ya nasi itu menangis? Aku mulai membayangkan jika tangisan mereka bersuara, maka akan ku dengar jutaan butir rengekan nasi-nasi yang terbuang, bahkan lama sekali aku merenung semenjak ibu bilang seperti itu. Aku jadi suka paranoid sendiri, kalau ketemu nasi  dalam keadaan basah berceceran, jangan-jangan nasinya habis nangis, hehehehe. Tapi sebenarnya setelah ku ingat-ingat lagi apa yang ibu sampaikan ini aku baru sadar, ibu menyampaikan sebuah nilai bagaimana kita harus berhemat dan tidak mubazir, itulah pesan sebenarnya dari mengapa ia mengatakan nasi itu akan menangis jika tidak dihabiskan, benar, ‘kan?
Hidung hilang
Ini masih disaat anak-anak. Usia ini merupakan usia explorasi, jadi waktu itu kami sangat tertarik dengan mawar yang mungkin saat itu kami baru tahu bahwa itu bunga mawar (soalnya dirumah Cuma ada bunga kenanga yang paling wangi, hehehehe), jadi ketika sesekali melihat bunga yang dulu bisa tergolong bunga mewah bagi kami, kami sangat senang saking senangnya suatu saat ketika pulang sekolah aku melihat ada bunga mawar yang tercecer di trotoar jalan, aku tanpa berpikir panjang mengutipnya dan menyingkirkan sedikit debu-debu yang hinggap di bunga,setelah bersih ku cium bunga ini sepanjang jalan hingga sampai di ujung pintu rumah bunga ini tak lepas dari hidungku karna wanginya juga belum hilang, hingga tiba-tiba saudaraku menegurku untuk membuang bunga itu, tapi aku tidak menggubrisnya akhirnya ia memberitahu ibu bahwa aku terus saja mencium bunga mawar yang di kutip dari jalan tadi. Ibu tak marah, hanya saja ibu langsung bilang dan bercerita padaku, ada seorang anak muda yang suka sekali mencium bunga, bunga apa saja walaupun bunga itu bunga yang tercecer di jalan, ia tetap menciumnya, hingga suatu hari hidungnya hilang. Aku tersentak kaget dengan pernyataan ibu, bagaimana mungkin hidung seseorang hilang hanya karna mencium wanginya bunga? Ibu kemudian menambahkan, waktu itu, hidungnya infeksi dan harus segera dibuang karna dikhawatirkan membusuk,  pemuda itu sekarang tak punya hidung dan ia sering menangis menyesalinya. Aku yang tadinya ragu untuk membuang bunga mawar yang ada ditanganku dengan serta merta mencampakkan bunga tersebut kedalam tong sampah. Semenjak cerita itu aku jadi suka berpikir panjang, seseorang tanpa hidung, bagaimana ya? Kebetulan abang kelasku waktu di sekolah dasar terlihat memiliki kekurangan dibagian hidungnya, aku jadi suka memperhatikannya dan membayangkan jangan-jangan abang ini dulu suka mencium wangi bunga kutipan (begitu terus aku memperhatikannya hingga ia menegurku, “ada apa?”, semenjak itu tak pernah lagi ku memperhatikannya). Hmm... dari kejadian diatas sebenarnya nilai yang ibu coba tanamkan adalah bagaimana sesuatu itu tidak sembarangan di ambil karna suka dan hati-hati dalam menjaga kesehatan, tidak seluruh benda itu bersih walau ia terbungkus sekalipun.
Derap Neraka dibalik daun telinga
Malam itu kami berkumpul setelah makan, biasanya kalau sudah bercerita mengenai sekolah,  kami akan sangat ribut didepan ibu, ibu menanggapi satu per satu sesuai watak kami. Hingga tiba-tiba ibu bilang “ kalian mau dengar tidak derap neraka itu seperti apa?”, kami serentak menjawab “emang bisa didengar, bu? “. Ibu langsung memerintahkan kepada kami, coba kalian lipat daun telinga kalian dari belakang kedepan, pastikan telinga kalian rasanya tertutup rapat oleh daun telinga, dan mengheninglah untuk mendengarkannya. Hei, ajaib sekali, kami seperti mendengar bara api yang bergelora walau frkeuensinya tidak besar, satu per satu dari kami menyahut, iya bu, aku dengar. Ingat-ingat kejadian ini, aku jadi tahu ibu tengah mengajarkan bagaimana anaknya bisa yakin dan percaya bahwa syurga dan neraka itu ada (oh ya, jika kalian mau coba silahkan, tapi lakukan sungguh-sungguh ya biar kalian merasakannya). ^_^
Begitulah beberapa bentuk penanaman nilai yang ibu ajarkan meski tak secara langsung berceramah kepada kami, namun pesannya ia selipkan lewat cerita dan aku sangat senang sekali masih mengingatnya. Aku harap, masih ada cerita-cerita lain penuh nilai darinya yang akan tetap aku ingat. Ibu kalian pasti juga punya cerita untuk kalian, ‘kan?

Sabdanas Yosi 08 07 2013 (Marhaban Yaa Ramadhan)

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Nasi Menangis, Hidung Hilang , dan Derap Neraka (Sebuah Penanaman Nilai)"

Posting Komentar